TOPIKAR || KAUR – Konflik antara nelayan TPI Linau, Kecamatan Maje, Kabupaten Kaur, dan nelayan Lemong dari Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung, kembali menjadi sorotan. Demi menyelesaikan polemik yang berlarut-larut ini, Komunitas Jaga Laut Kaur menggelar Dialog Rekonsiliasi pada Senin, 18 November 2024, bertempat di TPI Desa Linau. Kegiatan ini mengusung tema “Lestarikan Laut dan Cegah Konflik Sosial melalui Regulasi Daerah”.
Dialog tersebut mempertemukan berbagai pihak, termasuk nelayan tradisional dari empat desa di sekitar Linau, perwakilan Pemerintah Daerah Kaur, DPRD, Dinas Perikanan, dan Pos Angkatan Laut Linau. Kegiatan ini bertujuan mendengarkan aspirasi nelayan dan mendorong penguatan regulasi daerah yang berpihak pada nelayan tradisional sekaligus menjaga kelestarian ekosistem laut.
Nelayan tradisional Linau menyampaikan keresahan mereka terhadap praktik penangkapan lobster oleh nelayan Lemong yang menggunakan mesin kompresor. Menurut Merwan, salah seorang nelayan tradisional, metode tersebut tidak hanya merusak terumbu karang tetapi juga mengancam populasi lobster.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami selalu memakai alat tangkap tradisional demi menjaga keberlanjutan lobster dan terumbu karang. Ini bentuk komitmen kami agar anak cucu tetap bisa menikmati hasil laut ini,” ujarnya.
Namun, ketegangan memuncak ketika enam nelayan Lemong yang sempat diamankan oleh nelayan Linau justru dipulangkan oleh pihak berwenang tanpa sanksi hukum. Menanggapi hal ini, Bobi, perangkat Desa Linau sekaligus nelayan tradisional, menyatakan bahwa pihaknya merasa kecewa.
“Jika pemerintah daerah tidak segera bertindak tegas, konflik lebih besar bisa saja terjadi,” tegasnya.
Asisten II Pemda Kaur menyatakan bahwa pihaknya sedang mencari solusi terbaik untuk menyelesaikan konflik ini secara damai. Pemerintah berkomitmen mendukung nelayan lokal dalam mendapatkan perlindungan hukum.
“Kami berharap nelayan dapat menahan diri. Pemda siap memfasilitasi perumusan regulasi yang melindungi hak nelayan lokal dan kelestarian lingkungan,” ungkapnya.
Robi Antomi dari Dinas Perikanan Kaur menegaskan bahwa penggunaan mesin kompresor untuk menangkap lobster jelas melanggar peraturan yang diatur dalam Permen KKP Nomor 18 Tahun 2021. Ia meminta agar nelayan tradisional melaporkan pelanggaran serupa kepada pihak berwenang untuk penegakan hukum yang lebih tegas.
Wakil Ketua II DPRD Kaur, Mardianto, mendukung penuh aspirasi nelayan tradisional. Ia menekankan pentingnya segera menyusun regulasi daerah yang berpihak kepada kelestarian laut dan kesejahteraan nelayan tradisional.
“Saya siap membantu mendorong lahirnya Perda atau Perbup yang memperjuangkan hak nelayan kecil. Regulasi ini harus menjadi pelindung kelangsungan hidup nelayan sekaligus ekosistem laut kita,” tuturnya.
Ketua Komunitas Jaga Laut, Yanda Gustiarsyah, menegaskan bahwa pihaknya akan terus menjadi garda terdepan dalam perjuangan hak-hak nelayan tradisional. Ia juga mendesak Pemda Kaur untuk melayangkan surat teguran kepada Pemda Pesisir Barat agar membina nelayan mereka yang melanggar aturan.
“Langkah ini diharapkan dapat menjadi bukti kehadiran pemerintah dalam melindungi nelayan kecil. Kami ingin konflik ini diselesaikan dengan cara damai, namun tetap ada ketegasan hukum untuk menjaga kelestarian laut,” jelas Yanda.
Mengacu pada UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan dapat dikenai pidana hingga enam tahun penjara dan denda Rp1,2 miliar. Aturan ini diperkuat oleh Permen KKP Nomor 18 Tahun 2021 yang melarang mesin kompresor sebagai alat tangkap ikan.
Komunitas Jaga Laut dan para nelayan Linau berharap, ke depan regulasi yang lebih pro-lingkungan dapat segera diterapkan. Dengan itu, mereka dapat terus melestarikan laut sekaligus mempertahankan tradisi nelayan kecil sebagai penjaga keseimbangan ekosistem.
Penulis : Zoni A
Editor : Zn